Rabu, 12 April 2017

KETIKA UJIAN MATEMATIKA BERLANGSUNG


Saya tidak dapat dapat memastikan apa yang ada di benak peserta didik saya yang sedang mengerjakanUjian Matematika, namun yang pasti saya berada di antara peserta didik yang memiliki kecerdasan yang berbeda. Bagi peserta didik yang memang memiliki kecerdasan Matematis-Logis, soal-soal ujian di hadapan mereka pastilah seperti hidangan yang melezatkan, dalam waktu singkat dilahap seluruhnya. Selanjutnya, bagaimana dengan peserta didik yang memiliki jenis kecerdasan yang bukan Matematis-Logis, reaksi peserta didik menjadi berbeda.
            Tingkah laku peserta didik dalam mengerjakan soal memang beragam. Ada yang menatap langit-langit kelas, seolah-olah menghitung di udara, dan menemukan jawabannya. Ada yang menghitung di kertas buramnya, dengan harapan ketika hitungannya selesai, pilihan jawaban sesuai dengan hasil perhitungannya. Ada peserta didik yang hanya tertunduk, menatap kosong lembaran soal, barangkali ada keraguan dalam menggunakan rumus yang mana yang sesuai dengan soal. Satu jam berlalu, semburat kegelisahan terlihat di wajah beberapa peserta didik, penyelesaian soal baru separuhnya. Oh, peserta didikku!
            Seandainya system pendidikan di Indonesia menghargai perbedaan kecerdasan setiap peserta didik. Seandainya setiap peserta didik diakui potensi kecerdasan yang dimilikinya. Benarkah sekolah kita menganut yang namanya keseragaman? Bahwa semua peserta didik harus tuntas dalam setiap mata pelajaran dengan standar nilai minimal. Faktanya, setiap anak terlahir dengan kecerdasan yang dibawanya secara genetis yang diturunkan dari orang tuanya, dan kecerdasan yang berkembang karena factor lingkungan yaitu keluarga dan masyarakat.
            Menurut DR. Howard Gardner dari Harvard University yang dikutip dari buku Munif Chatib “Sekolahnya Manusia” (2012), ada 8 (delapan) kecerdasan majemuk (multiple intelligences) yaitu kecerdasan Linguistic (bahasa), Matematis-Logis, Visual-Spasial (Gambar-Ruang), Musikal, Kinestetis (Gerak), Interpersonal (Kemampuan bergaul dengan orang lain), Intrapersonal (Kemampuan mengenali diri sendiri), dan Naturalis (Kemampuan meneliti gejala-gejala alam).
            Apabila kondisi lingkungan peserta didik kondusif dan selaras dengan kecenderungan kecerdasan yang dimilikinya, maka peserta didik tersebut akan dengan cepat menemukan kondisi akhir terbaik akibat dipicu oleh kondisi lingkungan tersebut. Sebaliknya, apabila kondisi lingkungan tidak mendukung, peserta didik tersebut tidak akan pernah muncul menjadi orang yang mampu memberikan manfaat untuk masyarakat. Setiap peserta didik pasti memiliki minimal satu kelebihan.
            Sebuah ilustrasi, seorang peserta didik yang suka bicara dan ribut di kelas, terkadang dicap peserta didik yang “nakal”, justru ketika dewasa menjadi seorang reporter TV. Atau peserta didik yang suka menggambar dan mencoret papan tulis dan dinding, ketika dewasa berhasil menjadi seorang desainer interior.
            Setiap anak dilahirkan cerdas. Setiap peserta didik memiliki kelebihan yang dapat diasah untuk bekal keterampilan hidupnya. Tidak ada peserta didik yang “bodoh”. Semoga sebagai guru maupun orang tua, kita dapat mengenali kecerdasan peserta didik atau anak kita. Semoga peserta didik atau anak kita menemukan permata potensi dalam dirinya.