Saya tidak dapat dapat memastikan apa yang ada di benak
peserta didik saya yang sedang mengerjakanUjian Matematika, namun yang pasti
saya berada di antara peserta didik yang memiliki kecerdasan yang berbeda. Bagi
peserta didik yang memang memiliki kecerdasan Matematis-Logis, soal-soal ujian
di hadapan mereka pastilah seperti hidangan yang melezatkan, dalam waktu
singkat dilahap seluruhnya. Selanjutnya, bagaimana dengan peserta didik yang
memiliki jenis kecerdasan yang bukan Matematis-Logis, reaksi peserta didik
menjadi berbeda.
Tingkah laku
peserta didik dalam mengerjakan soal memang beragam. Ada yang menatap
langit-langit kelas, seolah-olah menghitung di udara, dan menemukan jawabannya.
Ada yang menghitung di kertas buramnya, dengan harapan ketika hitungannya
selesai, pilihan jawaban sesuai dengan hasil perhitungannya. Ada peserta didik
yang hanya tertunduk, menatap kosong lembaran soal, barangkali ada keraguan
dalam menggunakan rumus yang mana yang sesuai dengan soal. Satu jam berlalu,
semburat kegelisahan terlihat di wajah beberapa peserta didik, penyelesaian
soal baru separuhnya. Oh, peserta didikku!
Seandainya
system pendidikan di Indonesia menghargai perbedaan kecerdasan setiap peserta
didik. Seandainya setiap peserta didik diakui potensi kecerdasan yang dimilikinya.
Benarkah sekolah kita menganut yang namanya keseragaman? Bahwa semua peserta
didik harus tuntas dalam setiap mata pelajaran dengan standar nilai minimal. Faktanya,
setiap anak terlahir dengan kecerdasan yang dibawanya secara genetis yang
diturunkan dari orang tuanya, dan kecerdasan yang berkembang karena factor lingkungan
yaitu keluarga dan masyarakat.
Menurut DR.
Howard Gardner dari Harvard University yang dikutip dari buku Munif Chatib “Sekolahnya
Manusia” (2012), ada 8 (delapan) kecerdasan majemuk (multiple intelligences)
yaitu kecerdasan Linguistic (bahasa), Matematis-Logis, Visual-Spasial (Gambar-Ruang),
Musikal, Kinestetis (Gerak), Interpersonal (Kemampuan bergaul dengan orang
lain), Intrapersonal (Kemampuan mengenali diri sendiri), dan Naturalis
(Kemampuan meneliti gejala-gejala alam).
Apabila kondisi
lingkungan peserta didik kondusif dan selaras dengan kecenderungan kecerdasan
yang dimilikinya, maka peserta didik tersebut akan dengan cepat menemukan
kondisi akhir terbaik akibat dipicu oleh kondisi lingkungan tersebut. Sebaliknya,
apabila kondisi lingkungan tidak mendukung, peserta didik tersebut tidak akan
pernah muncul menjadi orang yang mampu memberikan manfaat untuk masyarakat. Setiap
peserta didik pasti memiliki minimal satu kelebihan.
Sebuah ilustrasi,
seorang peserta didik yang suka bicara dan ribut di kelas, terkadang dicap
peserta didik yang “nakal”, justru ketika dewasa menjadi seorang reporter TV. Atau
peserta didik yang suka menggambar dan mencoret papan tulis dan dinding, ketika
dewasa berhasil menjadi seorang desainer interior.
Setiap anak dilahirkan cerdas. Setiap
peserta didik memiliki kelebihan yang dapat diasah untuk bekal keterampilan
hidupnya. Tidak ada peserta didik yang “bodoh”. Semoga sebagai guru maupun
orang tua, kita dapat mengenali kecerdasan peserta didik atau anak kita. Semoga
peserta didik atau anak kita menemukan permata potensi dalam dirinya.